“Orang-orang mukmin hanyalah mereka yang apabila di sebut Alah gentar
hati mereka, dan apabila di bacakan kepda mereka ayat-ayat-nya, ia menamah iman
mereka dan kepada Tuhan mereka, mereka berserah diri” (Al-A’rof:2).
Akhir ayat yang lalu
memerintahkan agar para pejang perang badr itu, taat kepada Allah dan
Rosul-Nya, dan jika benar-benar mereka orang-orang nukmin tentulah mereka
melaksanakan perintah itu. Di sini Allah swt. Menjelaskan sebagian sifat mereka
yang menyandang predikat mukmin yaitu: orang-orang
mukmin yang mantap imannya dan kukuh lagi sempurna keyakinannya hanyalah mereka yang membuktikan
pengakuan iman mereka dengan perbuatan
sehingga antara lain apabila di
sebut nama Allah sekedar nama itu,
gentar hati mereka karena mereka sadar akan kekuasaan dan keindahan serta
keagungan-Nya dan apabila di bacakan
oleh siapapun kepada mereka ayat-ayat-Nya,
ia yakni ayat-ayat itu menambah iman
mereka karena memang mereka telah mempercayai sebelum di bacakan, sehingga
setiap ia mendengarnya, kembali terbuka lebih luas wawasan mereka dan terpancar
lebih banyak cahaya ke hati mereka dan kepercayaan itu menghasilkan rasa tenang
menghadapi segala sesuatu sehingga hasilnya adalah dan kepada Tuhan mereka saja mereka berserah diri.
Ayat di ats tidak
bertentangan dengan firman-Nya: orang-orang
yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram. (QS ar-ro’d: 28). Ia
tidak bertentangan, karena yang di sini melukiskan tahap pertama dari gejolak
hati orang-orang mukmin yang ketika itu merasa sangat takut akibat membayangkan
dan ancaman dan siksa Allah, sedang ayat ar-Ro’d tersebut menggambarkan gejolak
hati mereka setelah itu, yakni ketika mereka mengingat rahmat kasih sayang
Allah. Kedua kondisi psikologis ini di tamping oleh firman-Nya: “Allah telah menurunkan perkataan yang
paling baik (yaitu) kitab (al-Qur’an) yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi
berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya,
kemudian menjadi tenang kulit dan hati
mereka di waktu mengingat Allah” (QS az-Zumar: 23). Rujuk juga penjelasan
Ummu ad-Darda, yang akan di kutip guna menjelaskan arti wajilat quluubuhum.
Kata (dzikr) pada mulanya berarti mengucapkan dengan lidah. Walaupun
kemudian mkana ini berkembang menjadi “mengingat”, namun demikian, mengingat
sesuatu seringkali mengantar lidah menyebutnya. Kalu kata “menyebut” di kaitkan
dengan sesuatu, maka apa yang di sebut itu adalah namanya. Karena itu ayat di
atas dipahami dalam arti meyebut nama
Allah. Selanjutnya nama sesuatu terucapakan apabila teringat atau di sebut
sifat, perbuatan atau peristiwa yang berkaitan dengannya. Dari sini yang di
maksud oleh ayat di atas dapat menycakup menyebut keagungan llah, surge atau
neraka-Nya atau perintah dan larangan-Nya.
Kata (wajilat) terambil dari kata (wajal),
yaitu kegentaran hati menghadapi keagungan sesuatu yang dapat menjatuhkan
sanksi atau mencabut nikmat.
menurut Sayyid Qutub kata
(wajilat quluubuhum) menggambarkan
getaran rasa yang menyentuh kalbu seorang mukmin ketika di ingatkan tentang
Allah, perintah atau larangan-Nya. Ketika itu jiwanya di penuhi keindahan dan
ke-Maha Besaran Allah, bangkit dalam dirinya rasa takut kepada-Nya, tergambar
keagungan dan haibah-Nya serta tergambar juga pelanggaran dan dosanya. Semua
itu mendorongnya untuk beramal dan taat. Wajilat
qulubuhum –menurut Quthub—adalah apa yang di gambarkan oleh ummu ad-Darda,
wanita muslimah yang sempat melihat dan beriman kepada nbi saw. Beliau berkata:
“kegentaran hati serupa dengan terbakarnya jerami. Tidaklah anda mendengar
suara getaran? Yang di Tanya menjawab: “Ya”.. “Nah, saat engkau mendapatkan itu
dalam hatimu, maka brdoalah kepada Allah , doa akan menhhilangkannya (dan Allah
akan menggantinya dengan ketenangan).” Demikian Ummu ad-darda.
Di atas di kemukakan
bahwa sekedar menyebut nama-Nya maka jiwa seorang mukmin sejati akan
bergetar. Ini karena nama itu ketika di ingat atau di sebut langsung
memunculkan dalam diri mereka kebesaran Allah swt.
Memang salah satu cara
al-Qur’an mendidik mnausia adalah mengaitkan hal-hal kecil dan remeh sekalipun
dalm dunia empiris dengan Allah swt. Perhatikan firman-Nya: “Tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi
dan tidak sesuatu yang basah atu yang
kering, melainkan tetulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuuzh) (QS
al-An’am: 59). Cara demikian pada akhirnya menjadikan mitra bicara al-Qur’an
(manusia) tersentuh emosinya , serta terbuka mata kepala dan pikirannya,
sehingga setiap objek tersebut di paparkan kepadanya atau terlihat dan
terpikirkan olehnya, atau setiap nama Allah di sebut atau terpikir olehnya,
maka jiwanya terangsang untuk mangingat kebesaran adan keagungan-Nya, sehingga
mendorongnya untuk takut dan mengharap, dan terangsang pula ia melakukan
aktivitas. Penemuan Pavlov tentang rangsangan-rangsangan, mirip ddengan ini.
Ayat di atas menegaskan
penambahan iman bagi siapa yang mendengar ayat-ayat al_Qur’an. Thoohir Ibnu
‘Asyuur berpendapat bahwa penmabahan iman itu lahir karena ayat-ayat al-Qur’an
mengandung mukjizat/bukti-bukti kebenaran sehingga setiap ayat yang turun atau
berulang terdengar, maka ia menambah keyakinan pendengarnya tentang kebenaran
informasinya da bahwa informasi-informasi itu pasti bersumber dari Allah swt. Ini menambah
argumen/dalil yang tadinya telah ia
miliki sehinga akhirnya mencapai
tingkat yang sangt meyakinkan, semacam
keyakinan tentang kebenaran berita yang di sampaikan oleh sejumlah orang yang menurut kebiasan mustahil mereka semua
sepakat berbohong.
Dalam buku mukjizat al-Qur’an penulis mengutip
uraian kamil abdus Samad dalam bukunya al-I’jaz
al-Ilmy fi al-Qur’an yang memaparkan laporan sejumlah peneliti setelah
melakukan observasi dengan alat-alat
elektronika cabggih guna mengukur perubahan-perubahan fisiologi terhadap
sejumlah sukarelawan sehat yang sedang
mendengar dengan tekun ayat-ayat al-Qur’an . ereka terdiri dari orang-orang
muslim dan non-muslim, yang mengerti bahasa arab dan tidak mengerti. Hasil
pengamatan membuktikan adanya pengaruh
yang menenangkan hingga mencapai 97%. Hasil pengamatan ini telah di
laporka pada konferensi tahunan XVII asosiasi kedokteran Amerika Utara (IMANA) yang
di selenggarakan di santa Lucia agustus 1984. Rujuklah ke buku penuis di atas,
untuk mengetahui lebih rinci tentag hasil penelitian dan pengamatan itu.
Sebelum melanjutkan pada
ayat berikut tentang sifat-sifat orang mukmin perlu di garisbawahi –sebagaimana
telah di kemukakan di atas bahwa cirri-ciri tersebt adalah sifat-sifat orang mukmin yang mantap imannya dan kukuh lai
sempurna keyakinanya bukan sifat orang yang beriman yakni yang memiliki
iman tetapi belum mantap.
Semua pakar tafsir yang
sempat penulis rujuk karyanya berpendapat demikian, kecualai Sayyid Qutub.
Ulama dan syahid yang penuh semangat dn ghiiroh agama ini menulis ketika
meafsirkan ayat ini lebih kurang sebagai berikut “sesungguhnya al-Qur’an sangat
teliti dalam memilih dan menyusun lafaz-lafadznya agar dapat memberi petunjuk yang
teliti tentang kandungan pesannya. Dalam redaksi ayat di atas ada lafadz
(innamaa) yang menunjuk kepada makna pembatasan, yakni hanya yang memiliki
sifat-sifat tersebut yang di namai mukmin. Tidak ada alasan untuk mengalihkan
maknanya –setelah penegasan yang teliti itu—untuk berkata bahwa yang di maksud
adalah “iman yang sempurna” karena kecuali redaksi yang pasti lagi teliti maksudnya sesungguhnya
mereka yang di sebut sifat-sifat, amal-amal dan peraaan-perasaannya ituadah
orang-orang mukmin. Selain mereka yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut
secara menyeluruh bukanlah orang-orang mukmin. Penegasan pada kahir aya yang
menjelaskan sifat-sifat mereka (ayat keempat) bahwa “itulah mereka orang-orang mukmin yang haq” ikut menegaskan hakikat
ini, sehingga yang bukan orang-orang mukmin yang haq , tidak dpat menjadi orang mukmin sejak semula. Redaksi-redaksi
al-Qur’an saling menafsirkan. Allah
berfirman “ tidak ada lagi sesudah yang
haq kecualai kesesatan” (QS Yunus: 32) maka selam bukan haq , ia adalah kesesatan.
Antonom dari “orang-orang mukmin yang haq” bukanlah ‘‘orang-orang mukmin yang
imannya tidak sempurna.” Tidak boleh redaksi al-Quran yang demikian teliti menjadi bahan untuk
takwil/pengalihan makna seperti itu.”
Selanjutnya sayyid Qutub
menegaskan lebih jauh sebelum merinci satu persatu sifat-sifat yang di
kemukKn oleh ayat di atas dan ayat-ayat
berikut bahwa: “ kita aka melihat bahwa iman tidak mungkin tegak tanpa sifat-sifat itu dan persoalan bukanlah soal
sempuna atau kurangnya imn, tetapi persoalan adalah wujud atau tidak wujudnya
iman.
Pandangan sang syahid
ini, lahir dari kehangatan iman yang bersemi di dada beliau dan terasa lagi
terlihat denagn jelas pada tulisan-tulisan
bahkan di buktikan oleh keguguran
beliau mempertahankan nilai-nilai islam yang di yakininya. Kekaguman
terhadap kepribadian dan semangat itu tidak
menghalangi kita untuk menyatakan
bahwa pendapatnya kali ini agak
berlebihan dan dalil yang beliau kemukakan bukan pada tempatnya. Bahwa ayat ini
mengandung pembatasan, sehingga hanya yang memiliki sifat-sifat tersebut yang
di namai orang mukmin, itu juga benar, tetapi bukankan bahasa juga membedakan
anatara kata mukmin dan beriman?
Ada perbedaan kandungan
makna anatar penyanyi dan yang meyanyi atau pencuri dan yang mencuri.
Yang pertama penyanyi dan pencuri mengesankan bahwa menyanyi atau
mencuri adalah profesi yang bersangkutan atau telah berulang-ulang telah dia
lakukan sehingga mendarah dagimh dan membudaya pada dirinya, sedang yang kedua menyanyi dan mencuri di gunakan menunjuk
seorang walau baru sekali ia
menyanyi atau mencuri. Pada dasarnya kata dengan patron ini tidak mengandung makna kemantapan. Ayat di
atas menggunakan kata mukmin bukan yang beriman. atas dasar itu ia
seharusnya di pahami dalam arti seseorang yang mantap lagi kukuh dan sempurna
imannya.
Selanjutnya kita dpat
bertanya: “apakah mereka yang belum sampai pada tahap yang di sebut oleh ayat
ini, yaitu yang gemetar hatinya ketika di sebut nama Allah, bertambah imannya
ketika di bacakan ayat-ayat al-Qur’an, yang terus menerus berserah diri kepada
Allah, --apakah mereka yang belum sampai pada tahap itu—adalah mereka yang sama
sekali tidak memiliki iman? Apakah mereka yang tidak berkesinambungan shalatnya lagi tekun dan khusyu’ memenuhi
segala syarat, dan rukunnya kita nilai sebagi tidak memiliki iman sama sekali, atau bahkan dalam istilah Sayyid
quthub berada dalam kesesatan? Sekali lagi agaknya ini berlebihan. Penulis
tidak menolak uraian Sayyid Quthub yang rinci lagi sangat indah tentang maknna dan sifat-sifat tersebut,
tetapi itulah sifat=sifat mukmin yang mantap imannya, bukan sifat-sifat orang
yang beriman? jika anda bertanya apa bedanya? Yang pertama adalah yang sempurna
imannya dan yang kedua belum lagi sempurna. Kedua kelompok insya Allah akan selamat
dan masuk ke surge, walau tingkat
perolehan mereka d sana jauh berbeda. Selanjutnya rujuklah tafsir Fi Zhilaal al-Qur’an untuk membaca
uraian yang sangat memukau tentang sifat-sifat mukmin sejati. Semoga kita dapat
meraih, jika tidak menyeluruh, maka sebagian dari masing-masing sifat itu, dan
semoga rahmat allah swt. Tercurah kepada sang syahid Sayyid Quthub yang jasanya
terhadap islam dan umat tidak sedikit.
“Orang-orang mukmin hanyalah mereka yang apabila di sebut Alah gentar hati mereka, dan apabila di bacakan kepda mereka ayat-ayat-nya, ia menamah iman mereka dan kepada Tuhan mereka, mereka berserah diri”
BalasHapusIni bukan terjemah Ayat 2 Surat Al A'rof melainkan merupakan terjemah Ayat 2 Surat Al Anfal