“Allah cahaya langit dan bumi.
Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah celah yang tak tembus yang di
dalmnya ada pelita besar. Pelita itu di dalm kaca, kaca itu bagaikan bintang
seperti mutiara. Dinyalakan dengan minyak dari pohon yang di berkati yaitu
pohon zaitun, (yang tunbuh) tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah
barat. Hampir-hampir saja minyaknya menerangi, walaupun ia tidak disentuh api.
Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia
kehendaki, dan Allah membut perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah
Maha mengetahui segala sesuatu”
Ayat ini dapt di hubungkan dengan akhir ayat yang
lalu yang menjelaskan bahwa Allah menurunkan ayat-ayat yang demikian jelas
serta menjelaskan segala tuntunan yang berkaitan dengan kebutuhan hidup duniawi
dan ukhrowi manusia. Ayat ini bagaikan berkata: Diturunkannya oleh Allah
ayat-ayat yang berfungsi seperti di kemukakan itu di sebabkan karena Allah pemberi Cahaya kepada langit dan bumi
baik cahaya yang bersifat yang materialyang dapat di lihat dengan mata kepala,
maupun immaterial berupa cahaya kebenaran, keimanan, pengetahuan dan lain-lain
yang di rasakan dengan mata hati. Perumpamaan
kejelasan cahaya-Nya adalah
seperti sebuah celah dinding yang tak
tembus sehingga tidak di terpa angin
yang dapat memedamkan cahaya, dan membantu pula menghimpun cahaya dan
memantulkan kea rah tertentu yang di
dalamnya ada yakni di letakkan pelita
besar. Pelita itu di dalam kaca yang sangat
bening dan kaca itu sedemikian bersih
dan bening sehingga ia bagaikan bintang
yang bercahaya, serta mengkilap seperti
mutiara. Pelita itu dinyalakan dengan
bahan bakar berupa minyak dari pohon yang di tanam di lokasi yang di berkati sehingga
tanah dan tempat tumbuhnya baik yaitu
pohon zaitun yang tumbuh di tengah, tidak
di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat sehingga ia selalu di
tempa oleh cahaya matahari sepanjang hari. Karena jernihnya hamper-hampir sajaminyaknya menerangi sekelilingnya, walaupun ia yakin pelita itu
tidak di sentuh api. Cahaya di atas yakni
berlapis cahaya. Demikian perumpamaan
petuuk Allah yang terbentang di alam raya ini dan yang di turunkannya melalui
para nabi. Allah membimbing kepada
Cahaya-nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan yang bersifat indrawi dan konkret dan
memaparkan nya bagi manusia untuk
memudahkan mereka memahami hal-hal yang abstrak dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu termasuk mereka yang mempersiapkan diri untuk
menerima petunjuk-petunjuk-Nya.
Kata (Nuur) di gunakan
oleh bahasa dalam arti sesuatu yang
menjelaskan / menghilangkan kegelapan sesuatu yang sifatnya gelap atau tidak
jelas. Ia di gunakan dalam pengertian hakiki
untuk menunjuk sesuatu yang memungkinkan mata menangkap bayangan benda-benda di
sekitarnya. Si sini nuur merupakan
sesuatu yang dapat di tangkap oleh mata, dan dalm saat yang sama, mata pun
dapat menangkap apa yang di sinari olehnya. Dengan demikian dia adalah terang dan menerngi. Kata tersebut kemudian di gunakan dalm artian majazi untuk menunjuk sesuatu yang
menjelaskan hal-hal yang bersifat abstrak. Ini bermula dari hal-hal yang
bersifat konkret dan indrawi, sehingga pancaindrapun secara majazi di namai nuur. Dengannya terjangkau hal-hal yang bersifat indrawi, seperti
pendengaran dan rasa. Penggunaan ini kemudian berkembang lagi sehingga akal yang dapat menganalisis dan
menangkap hal-hal yang bersifat abstrak di namai juga nuur. Demikian juga ilmu
yang berfungsi menghilangkan kekaburan dan kegelapan yang menyelubungi benak
seseorang.
Tentu saja Allah SWT
tidak mungin di namai nuur dalam
pengertian tersebut. Akidah islam menolak penamaan-Nya dalam makna tersebut,
karena tidak ada yang serupa dengan serupa-Nya, apalagi yang serupa
dengan-Nya—dalam QS. As-Syuuraa:11 di nyatakan: “tidak ada yang serupa dengan Dia”-- dan lebih-lebih lagi yang sama. Semua yang
terlintas dalam benak, kenyataan atu imajinasi, maka Allah berbeda dengan yang
terlintas itu. Sebentar kita akan kembali manjelaskan makna dan maksud kata ini
pada ayt di atas, setelah menjelaskan makn kosa katanya yang paling penting.
Kata (Misykaah) di pahami
oleh ulama dalm arti lubang / celah yang
tidak tembus. Kata ini adalah salah
satu kata non arab yang di gunakan
al-quran. Sementara ulama berpendapat bahwa ia berasal dari bahasa
habasyah/Ethopia. Ada juga yang berpendapat bahwa maknanya adalah tiang yang di
puncuknya di letakkan lampu. Pendapat lain menyatakan bahwa ia adalah besi
tempat meletakkan sumbu dalam lampu semprong. Namun pendapat pertama itulah
yang paling populer dan sesuai, karena seperti yang di kemukakan di atas, celah
yang tidak tembus menjadilan nyala lampu tidak di terpa angin yang dapat
memadamkannya, dan membantu pula menghimpun cahaya dan memantulkan ke arah
tertentu.
Kata Mishbaah adalah alat berupa wadah/tempat menyalakan sumbu atau
tabung, sedang zujaajah adalah kaca
penutup nyala lampu itu (semprong). Ayat di atas mendahulukan
penyebutan akat misykaah, karena yang hendak di lukiskan adalah keadaan misbaah itu dengan cahaya lampu, yang di sini sangat kait berkait dengan hal-hal lain yang di
sebut sesudahnya.
Kata (kaukab) di gunakan
al-quran untuk bintang yang bercahaya.
Sementara ulama membatasinya dalam arti bintang mars.
Kata (yuuqod) terambil
dari kata (waquud) yakni bahan bakar.
Dengan demikian kata tersebut mengandung makna bahwa bhwa bahan bakar yang di
gunakan untuk menyalakn pelita itu adalah yang bersumber dari pohon yang penuh
berkat (pohon zaitun). Penggunaan bentuk kata kerja masa kini dan dating
(mudhori) pada kata tersebut mengisyaratkan bahwa bahan bakarnya tidak pernah
habis, selalu bertambah dan di tambah sehingga cahaya pelita itu bersinambung
tidak henti-hentinya.
Kini kita kembali kepada
kata nuur yang di gunakan Al-quran dan ayat ini.
Merujuk kepada penggunaan
Al-quran, di temukan bahwa kata ini paling tidak memiliki sebelas makna, yaitu
1) agama islam, 2) iman, 3) pemberi petunjuk, 4) Nabi Muhammad saw., 5) cahay
siang, 6) cahaya bulan, 7) cahaya yang menyertai kaum mukminin ketika
menyebrang shirooth/Titian, 8) penjelasan tentang halal dan haram yang terdapat
dalm taurat, 9) injil 10) al-quran, 11) keadilan.
Kata (nuur) jika di
kemukakan dalm konteks uraian tentang manusia – baik dalm kehidupan dunia
maupun akhirat – mengandung makna hidayah
dan petunjuk Allah atau dampak dan
hasilnya. Perhatikanlah – misalnya firman Allah dalam QS. Al-Baqarah 257.
“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada nuur (cahaya petunjuk).” Atu firmannya:
“ Maka apakah orang-orang yang di bukakan Allah hatinya untuk
(menerima) agama islam lalu ia mendapat nuur dari Tuhanya (sama dengan orang
yang membantu hatinya)?” (QS az-Zumar 22). I baca juga QS asy-suura: 52 atau QS
al-Hadiid : 13.
Adapun jika kata itu atau
aneka bentuknya menyifati benda-benda langit, maka ia mengandung makna cahaya,
tetapi cahaya yang merupakan pantulan dari benda langit lainnya yang
bercahaya. Ketika berbicara tentang matahari dan bulan, Al-quran menyatakan
bahwa Allah menjadikan matahari
Dhiyaa’ dan bulan Nuur (QS. Yuunus: 5). Di kali lain bulan di lukiskan sebagai
Muniiron (QS al-Furqon 61). Dari Al-Qur'an di temukan bahwa kata yang
terangkai dari huruf-huruf yang sama dengan huruf-huruf kata Dhiyaa’, digunakan
untuk untuk menunjuk cahaya yang bersumber dari dirinya sendiri, karena itu
matahari di jadikan Allah dhiyaa’
bukan nuur. Karena cahaya matahari
bersumber dari dirnya sendiri, bukan pantulan sebagaimana halnya bulan.
Ulama-ulam merujuk kepada
ayat ini untuk menyatakan bahwa nuur
adalah salah satu sifat/nama Allah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang
maksudnya. Ibn al-‘arabi mengemukakan enam pendapat ulama tentang maknanya
yaitu : a) pemberi hidayah, b)pemberi cahaya,
c)penghias, d)yang zaahir/Nampak dengan jelas, e) pemilik cahaya, dan f) cahaya
tetapi bukanseperti cahaya yang kita kenal.
Banyak sekali ayat-ayat
yang menjelaskan bahwa Allah adalh pemberi cahaya, misalnya:
“sesungguhnya telah dating kepada kamu cahaya dari Allah, dan kitab
yang menerangkan” (QS al-Maidah 15).
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan nuur (bercahaya)”
(QS Yuunus 5).
Tetapi jangan duga bahwa
matahari atau api atau kilat, yang cahayanya masing-masing di lukiskan al-Qur'an
dengan menggunakan kata yang berakar sama dengan dhiyaa’, jangan duga bahwa cahaya tersebut benar-benar bersumber
dari dirinya sendiri. Ini hanya relative ketika di bandigkan dengan yang lain.
Ini hanya di dasarkan ketika pada kenyataan yang kita lihat dengan mata kepala,
atau kita ketahui, tapi sebenarnya semua cahaya tersebut bersumber dari
Allah dan semua pada hakikatnya adalah nuur, dalam arti pantulan dari sumber
cahaya yang tidak redup. Yaitu Allah SWT. Karena itu di nyatakan-Nya:
“segala puji bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi dan menjadikan
gelap dan nuur (cahaya) (untuk seluruh yang ada di alam raya)” (QS. Al_an’am:
1).
Atas dasar itulah
hendaknya kita memahami kata nuur jika di nisbahkan kepada Allah, maka ia
berarti bahwa Dia pemilik dan Pemberi cahaya.
Imam Ghazali menjelaskan
bahwa nuur adalah yang zaahir/jelas pada
dirinya dan yang bersumber kepadanya segala yang jelas. Hujjatul islam itu
menulis bahwa: kalau kita perhadapkan
wujud ini dengan ketiadaan, maka
tidak dapat tidak, pastilah yang tampak adalah yang wujud, dan tiada kegelapan
yang melebihi gelapnya ketiadaan, karena itu tulis Al-ghazali lebih lanjut : yang
tidak di sentuh oleh kegelapan ‘adam (keiadaan), bahakan tidak di sentuh oleh
kemungkinan ketiadaan,( yang wajib wujud-NYa) serta yang mengeluarkan segala
sesuatudari kegelapan ketiadaan menuju kejelasan wujud (yakni sang pencipta),
pastilah dia yang wajar menyandar nama Nuur.
Al-quran, selalu
menggunakan kata Nuur dalm bentuk tunggal, berbeda dengan kegelapan (zhuluumat)
yang selalu berbentuk jamak. Ini untuk untuk mengisyaratkan bahwa sumber cahaya
hanya satu, yaitu Allah SWT, oleh karena itu ditegaskan-Nya pada ayat 40
berikut bahwa: “barang siapayang tiada di
beri Allah nuur (cahaya petunjuk) maka tidakah ada baginya sedikit nuur
(cahaya)pun.” Adapun kegelapan, sungguh banyaksumbernaypun beraneka ragam.
Di sisi lain, ketika Al-quran menyebut nuur
dan zhulumat secara bergandengan,
yang di sebutnya terlebih dahulu adalh zhulumat.
Ini bukan saja karena kegelapan (ketiadaan) mendahului cahaya (wujud), tetapi
karena cahaya petunjuk-Nya adalah Nuur
‘ala nuur yakni cahaya di atas cahaya—seperti bunyi ayat di atas—maka
betapaun terangnya cahaya yang telah
anda raih, masih ada cahaya terang yang melebiinya, dan ketika anda berada pada
cahaya yang melebii itu, maka cahaya yang telah anda raih sebelumnya, adalh
relative gelap. Itu sebabnya mereka yang telah memperoleh cahaya petunjuk-Nya
pun masih dapat memperoleh tambahan petunjuk:
“Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yng telah mendapat
petunjuk”
Qs Maryam: 76 ini
pula agaknya yang di isyaratkan oleh
penggunaan bentuk kata kerja masa kini dan datang pada kata yuuqod/dinyalakan. Sebagaimana di
jelaskan sebelum ini. Ayat di atas sungguh indah dan menyentuh , karena itu banyak ulama
dan pakar yang membahasnya, dan beragam pula pendapat mereka tentang maknanaya,
namun pada umumnya berpendapat bahwa ayat ini adalah gambaran tentang cahaya
petunjuk Illahi. Nuur menurut Ibnu Asyur adalah kebenaran yang di peroleh
melalui wahyu ilahai yakni al-quran. Kebenaran itu di ibaratkan denagn pleita
yang di dung oleh sekian banyak factor dan cahaya yang menyatu pada nyala
pelita itu. Bermula pada misykaah di lanjutkan dengan kaca yang sangat bening yang di nyalakan
oleh minyak zaitun yang terbaik.hasil
dari kesemuanya di simpulkan dengan ungkapan
nuur ‘alaa nuur.
Lebih jauh Ibnu ‘Asyuur
menjelaskan bahwa setiap factor yang di sebut di atas dapat melahirkan
perumpamaan tersendiri. Menurut ulama ini Misykaah menggambarkan ketetapan dan
kemantapan serta kesempurnaan petunjuk illahi sehingga dapat melahirkan
keyakinan tanpa kerancuan. Al-misbah
dan penempatannya dalam celah itu, yang menjadikannya tidak padam merupakan
gambaran dari pemeliharaan Allah terhadap Al-quran sesuai firman-nya:
“sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-quran, dan sesungguhnya kami
benar pemelihara-pemeliharanya” (Al-Hijr: 9). Az-zujajah/kaca yang bening yang
menjadikan apa yang terdapat di dalamnya semakin jelas adalah seperti penegasan
al-quran daalm surah ini yaitu: walaqod
anzalnaa ilaikum aayaat mubayyinaat/ dan sesungguhnya kami telah menurunkan
kepada kamu ayat-ayat yang member penerngan (ayat 34). Asy-syajaroh
al-Mubaarokah (pohon yang penuh berkah) yang menghasilkan pohon zaitun. Adalh
perumpamaan tentang hakikat-hakikat yang di hidangkan oleh Al-quran dan
as-sunnah, dan yang menghasilkan bukti kebenaran dan petunjuk ilahi. Sedng
pernyataan bahwa pohon itu”tidak di sebelah timur tidak pula di sebelah barat”
mengisyaratkan toleransi dan moderasi ajaran al-Quran.
Penegasan bahwa (pelita
itu) di nyalakan secara terus menerus mengisyaratkankelanggengan kesinambungan
pembaharun ajaran-ajarannya.
Minyak zaitun yang demikian jernih mengibartkan penjelasan Nabi
Muhammad SW menyangkut al-Quran serta hokum-hukum syariat, yang melalui
penjelasan itu lahir cahaya bashiiroh/mata
hati dna dalam saat yang sama mudah di raih tanpa susah payah.
Sentuhan api
mengibartakan tampilan nabi Muhammad SAW menjelaskan ajaran-ajaran agama, dan
ini mengisyartakan kesinambungan petunjuk tersebut. Demikian lebih kurang Ibnu
‘Asyuur.
Al-Biqa’I memahami
pemilihan kata kaukab/bintang yang
bercahaya, karena bintang ini tidak mengalami gerhana, berbeda dengan
matahari atau bulan. Di sisi lain ulama ini meulis bahwa misykaah/celah dapt
menjadi lambing dari masjid-masjid.
Az-zujaj adalah manusia-manusia yang berdzikir, al-isbah adalah kalbu,
kecemerlangannya adalah kandungan kalbu yang mendorong seseorang berdzikir, as-syajaroh/pohon adalah jasmani yang
telah di bersihkan dari aneka kekotoran dan
yang telah terbiasa dengan istiqoomah/konsistensi daklam keberagaman.,
sedang minyak adalha lambang dari rahasia-rahasia yang di campakkan Allah.
Selanjutnya Al-biqa’I juga mengutip juga pendapat sahabat Nabi SAW. ‘Abdullah
ibn Umar ra. Yang di riwayatkan olah ath-thabrani yang menyatakan bahwa Misykaah adalah “sisi dalam” Nabi
Muhamad SAW., az-zujajah adalah kalbu
beliau, al-misbah adalah cahaya yang
berada dalam kalbi itu, sedang as-syajarah
adalah nabi Ibrohim as. Dan tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah
barat berarti bukan ajaran Yahudi bukan
juga Nasrani.
Thabaathabaa’I mempunyai
pandangan lain. Ulama ini memulai uraiannya dengan menjelaskan bhwa Allah SWT.
Memiliki cahaya yang beraifat umum yang dengannya langit dan bumi menjadi jelas
dan nyata setelah sebelumnya tidak nyata/tidak ada. Tidak di
sangkal—tulisnya—bahwa nampaknya sesuatu oleh sesuatu yang lain mengharuskan
yang menampakkan itu adalah sesuatu yang jelas
pada diirnya baru kemudian dia menjelaskan selainnya dan kareana itulah
maka ia di anmai nuur. Allah adalah
Nuur yang menampakkan langit dan bumi (serta segala isinya) sebagaimana cahaya
(matahari, bulan , lampu dsb) menampakkan benda-benda setelah tertuju kepada
cahayanya. Hanya saja pancaran nuur illahi terhadap sesuatu bertarti
terwujudnya sesuatu itu, berbeda dengan pancaran cahaya matahari dan semacamnya dan benda-benda, karena yang ini
bukan sumber wujud benda-benda itu. Nah maksud kata pada firman-nya: (Allah
nuur as-samawaat wa al-ardh) adalah nuur yang bersifat umum itu.
Thbaathabaa’I lebih jauh
menggarisbawahi bahwa penyipatan Allah sebagai nuur mengisyaratkan bahwa Dia
adalh wujud yang paling nyata, tidak ada sesuatupun yang tidak mengenal-Nya
karena semua yang wujud dan Nampak adalah limpahan
dari penampakan-Nya. Inilah menurutnya yang di maksud oleh firman-Nya pada ayat
41 dan 42 berikut yakni bahwa semua yang ada di langit dan di bumi termasuk
burung-burung semuanya telah mengetahui cara shalat dan bertasbih kepada Allah
karena “tidak ada amknanya tasbih/penyucian dan shalat, tanpa pengetahuan
tentang siapa yang di sucikan serta yang tertuju kepadanya shalat”.
Selanjutnya
Thabaathabaa’I menjelaskan bahwa ada juga nuur ilahi yang bersifat khusus.
Ulama ini berpendapat bahwa nuur yang di maksud dalam firman-Nya (matsalu
nuurihi/perumpamaan cahaya-Nya) adalah cahaya khusus itu, yakni cahaya yang
menerangi jalannya orang-orang mukmin yaitu cahaya makrifat yang dengannya hati
mereka memperoleh prtunjuk pada hari bergoncangnya hati dang penglihatan (kiamat)
dan cahaya itulah yang mengantar mereka menuju kebahagiaan abadi sehingga
mereka dapat menyaksikan dengan dengan mata kepala apa yang gaib dalam
kehidupan dunia ini. Ini –tulisnya lebih lanjut—merupakan anugerah ilahu kepada orang-orang mukmin yang mengantar mereka
menuju kebahagiaan abdi yang tidak di anugerahkan-Nya kepada orang-orang kafir. Mereka itu di
biarkan Allah berada di dalam kegelapan tanpa dapt melihat. Kata nuur pada firman-Nya matsalu
nuurihi, tidak mngkin di pahami dalam arti nuur/cahaya yang bersifat umum, sebagaimana tidak juga di dalam
arti al-Qur’an karena ayat ini menjelaskan keadaan akaum mukmini secara umum,
baik sebelum turunnya al-Qur’an maupun sesudahnya, dan mereka itu telah di
sifati sebagai orang-orang yang di miliki nuur dan ganjaran sebagaimana
firman-Nya:
“bagi mereka ganjaran mereka dan nuur mereka” (QS al-Hadiid 19),
atau firmannya melukiskan keadaan nabi dan orang-orang mukmin:
“pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang
beriman bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah
kanan mereka, sambil mereka mengatakan: tuhan kami, smpurnakanlah bagi kami
cahaya kami dan ampunilah kami (QS at-Tahrim: 8)
Selanjutnya ulama yang
beraliran syiah itu, menjelaskan bahwa sementara ulama berpendapat bahwa
firman-Nya Nuur ‘ala nuur berarti
pengadaan nuur itu, bukan berati
berbilangnya cahaya itu. Ia bukan berarti ada cahaya tertentu atau tidak
tertentu di atas cahaya yang lain yang serupa dengannya, tidak juga hanya
berarti ada dua saja cahaya, tetapi dia adalah cahaya berlipat ganda tanpa
menentukan berapa pergandaannya. Maka inilah yang di dukung Thabaathabaa’I
walau dalam saat yang sama dia
menganggap baik dan teliti jika redaksi itu di pahami daam arti bilangan.
Menurutnya, Nuur yang bersumber dari
pelita itu adalah cahaya yang bersifat
hakiki lagu bersumber dari dirinya, sedang Nuur yang di pancarkan oleh az-zujaajah/kaca bersifat majaazi.
Kedua Nuur itu berbilang
dengan keterbilangan ini, walaupun hakikatnya Nuur itu hanyalah cahaya yang terpancar dari dari pelita itu, tidak
pada kaca itu. Namun kaca itu kalau di tinjau dari keterbilangannya, maka ia
pun memiliki Nuur yang berbeda dengan nuur-nya pelita. Keadaan ini, tulis
thabaathabaa’I lebih lanjut, serupa dengan keadaan yang di maksud untuk di
ilustrasikan oleh ayat ini, yakni cahaya iman dan ma’rifat yang menerangi hati
orang-orang beriman, bersumber dari nur
Ilahi.
Firman-Nya: yahdi allaahu li nuurihii man yasyaa/Allah
member petunjuk kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehedaki, yakni nuur-Nya itu di anugerahkan atas dasar
kehendak-Nya semata-mata dan kehendak-Nya itu berkaitan dengan sikap manusia,
apakah ia mau meraihnya atau enggan. Ini berarti cahaya Allah yang melimpah itu
tidak terhalangi. Dia menganugerahkannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki, tetapi yang
bersangkutan terlebih dahulu harus bersedia untuk menerimanya. Ini dapat di
pahami dengan mengamati matahari. Amatilah sang surya itu ketika memancarkan
cahayanya. Ia tidak membedakan satu mahluk dengan mahluk yang lain. Tidak
seorangpun merasa kekurangan cahaya tau memperoleh kehangantan dan cahayanya,
atau merasa kekurangan, mak itu karena posisinya yang keliru. Itu karena dia
menjauh dari chaya yang bersinar itu. Demikian juga cahaya Ilahi.
Firman-Nya Wa yadhribu Allaahu al-amtsaa li
an-naas/Allah membuat perumpamaan-perumpamaan, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu, mengisyaratkan bahwa ayat ini mengandung makna-makna yang sangat
dalam, tidak semua orang dapat menjangkau maknanya, tetapi masing-masing
memahami sesuai dengan potensi dan kemampuannya. Memang demikianlah matsal (perumpamaan) al-Qur’an, dia
mengandung aneka makna yang di paparkan kepada manusia tetapi hanya orang-orang
yang pengetahuannya dalam yang dapat memahaminya dengan baik. (baca surat
al-‘Ankabut; 43).
Sementara orientalis
menyatakan bahwa ayat ini memiliki hubungan yang sangat erat atau bahkan di
sadur atau di jiplak oleh Nabi Muhammad SAW dari perjanjian baru. Mac Donald
misalnya berpendapat : Dilihat dari susunan bahasa, agaknya ayat itu
menyinggung masalah pelayanan ketuhanan yang terdapat di gereja-gereja dan
biara-biara, yaitu bentuk bentuk pelayanan yang terlihat pada altar (autel)
gereja yang bersulam cahaya. Selain itu ungkapan al-Qur’an ada kaitannya dengan
istilah “cahaya alam” dalam iil dan cahaya dari cahaya dalam “la profession de foi du concile de nicee” (deklarasi
majlis keimanan majelis nicee).
Anggapan seperti ini,
tulis Abdurrahman badawi dalam bukunya versi bahasa prancis “Defense du coran
ses critiques” (versi bahasa arab “Difaa’ani Qur’an Dhidda Muntaqdih” sama
skali tidak benar, di lihat dari beberapa segi:
Pertama, cahaya-cahaya di
altar gereja cukup banyak, sedangkan al-qur’an hanya menyebutkan satu cahaya
yang menyinari langit dan bumi. Kedua, dalam deklarsi keimanan yang di
sebutkan Mac Donald tertulis “phoes ek
photis” (cahaya dating dari cahaya)”. Jadi antara keduanya mempunyai pengertian
yang berbeda. Ketiga, para pujangga jahiliyah seperti umru’ al-Qays
menggambarkan lampu-lampu biarawan yang memancarkan cahaya bagaikan menyelusup
dalm kesunyian pertapaan mereka. Nabi Muhammad SAW tidak perlu meminjam
perumpamaan tersebut untuk mengungkapkan cahaya illahi, karena termasuk
kekafiran.
Orientalis lain, Clemont
ganneau, juga mengatakan bahwa ia menemukan persamaan ayat al-qur’an dengan
Zakariyya (4: 1-13, erjanjian lama) ang berbunyi: maka kembali malaikat yang
berbicara denganku dan membangunkanku seperti orang di bangunkan dari tidurnya.
Ia bertanya kepadaku “apa yang engkau lihat?” aku jawab: “menurut pandanganku,
aku melihat mihrab dari emas pada bagian atas peti kas dan di atasnya terdapat
tujuh lampu dan tujuh tangkainya. Di sisinya terdapat dua pohon zaitun, satu di
sebelah kanan dan satu lagi di sebelah kirinya. Aku lanjutkan pembicaraanku
seraya bertanya kepada malaikat yang tadi berbicara denganku: “apa maksudnya
hal ini?” kemudian aku berkata: ‘’Tidak,
oh tuhanku”…, maka ia berkata kepadaku: “tujuh lampu ini artinya mata-mata
Tuhan yang menjaga bumi”, kemudian aku bertanya: “apa maksudnya dua pohon
zaitun yang berada di sebelah kanan dan kiri mihrab?” ia menjawab: “mereka itu
dua orang laki-laki yang di beri makan dengan minyak.”
Dari teks di atas jelas
sekali perbedaannya dengan ayat al-qur’an yang di tafsirkan ini. Teks zakariyya
menggambarkan lampu Kristal dari emas yang di atsnya terdapat tujuh lampu dan
di samping kiri kannnya terdapat dua pohon zaitun. Smentara dalam al-qur’an
tidak ada gambaran seperti ini. Bahkan sekedar membicarakan tujuh lampu saja
sudah bertentangan dengan nash al-qur’an
yang hanya menyebutkan tujuh lampu, (karena allah itu esa), bukan tujuh. Selain
itu al-qur’an hanya berbicara tentang satu pohon zaitun yang “tidak ada di
timur dan baratnya”, karena merupakan gambaran keruhanian. Dari sini tampak,
betapa menyoloknya perbedaan antara kitab zakariyya denga ayat al-Qur’an.
Clermont Ganneau agaknya
berupaya untuk meralat pendpatnya di atas setelah merasakan adanya perbedaan
yang menyolok antara kedua teks tersebut. Untuk itu, ia berkata: “jika Muhammad
mengutip intinya dari tradisi-tradisi Yahudi dan Kristen, maka aaknya ia sengaja menjauhkannya dari tradisi tadi,
terutama mengenai bentuk lampau yang menempati posisi penting pada kedua teks tersebut.
Dari itu, ia hilangkan dari al-qur’an ungkapan lampu Kristal bercabang tujuh
yang di lihat zakariyya dalam mimpinya.”
Kalau demikian apalagi
yang tertinggal dari mimpi zakariyya tersebut? Jawabnya, yang tertinggal hanya
lampu. Sekedar lampu, tentu tidak cukup sebagai alas an untuk menyamakkan
antara teks zakariyya (perjanjian lama) dengan ayat al-qur’an. Demikian
Abdurrahman Badawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar