Penayangan bulan lalu

Kamis, 03 November 2011

Tafsir Ayat 2 Surat Al-A'raf


Orang-orang mukmin hanyalah mereka yang apabila di sebut Alah gentar hati mereka, dan apabila di bacakan kepda mereka ayat-ayat-nya, ia menamah iman mereka dan kepada Tuhan mereka, mereka berserah diri” (Al-A’rof:2).
Akhir ayat yang lalu memerintahkan agar para pejang perang badr itu, taat kepada Allah dan Rosul-Nya, dan jika benar-benar mereka orang-orang nukmin tentulah mereka melaksanakan perintah itu. Di sini Allah swt. Menjelaskan sebagian sifat mereka yang menyandang predikat mukmin yaitu: orang-orang mukmin yang mantap imannya dan kukuh lagi sempurna keyakinannya hanyalah mereka yang membuktikan pengakuan iman mereka dengan perbuatan  sehingga antara lain apabila di sebut nama Allah sekedar nama itu, gentar hati mereka karena mereka sadar akan kekuasaan dan keindahan serta keagungan-Nya dan apabila di bacakan oleh siapapun kepada mereka ayat-ayat-Nya, ia yakni ayat-ayat itu menambah iman mereka karena memang mereka telah mempercayai sebelum di bacakan, sehingga setiap ia mendengarnya, kembali terbuka lebih luas wawasan mereka dan terpancar lebih banyak cahaya ke hati mereka dan kepercayaan itu menghasilkan rasa tenang menghadapi segala sesuatu sehingga hasilnya adalah dan kepada Tuhan mereka saja mereka berserah diri.

Ayat di ats tidak bertentangan dengan firman-Nya: orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram. (QS ar-ro’d: 28). Ia tidak bertentangan, karena yang di sini melukiskan tahap pertama dari gejolak hati orang-orang mukmin yang ketika itu merasa sangat takut akibat membayangkan dan ancaman dan siksa Allah, sedang ayat ar-Ro’d tersebut menggambarkan gejolak hati mereka setelah itu, yakni ketika mereka mengingat rahmat kasih sayang Allah. Kedua kondisi psikologis ini di tamping oleh firman-Nya: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) kitab (al-Qur’an) yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang   kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah” (QS az-Zumar: 23). Rujuk juga penjelasan Ummu ad-Darda, yang akan di kutip guna menjelaskan arti wajilat quluubuhum.
Kata (dzikr) pada mulanya berarti mengucapkan dengan lidah. Walaupun kemudian mkana ini berkembang menjadi “mengingat”, namun demikian, mengingat sesuatu seringkali mengantar lidah menyebutnya. Kalu kata “menyebut” di kaitkan dengan sesuatu, maka apa yang di sebut itu adalah namanya. Karena itu ayat di atas dipahami dalam arti meyebut nama Allah. Selanjutnya nama sesuatu terucapakan apabila teringat atau di sebut sifat, perbuatan atau peristiwa yang berkaitan dengannya. Dari sini yang di maksud oleh ayat di atas dapat menycakup menyebut keagungan llah, surge atau neraka-Nya atau perintah dan larangan-Nya.
Kata (wajilat) terambil dari kata (wajal), yaitu kegentaran hati menghadapi keagungan sesuatu yang dapat menjatuhkan sanksi atau mencabut nikmat.
menurut Sayyid Qutub kata (wajilat quluubuhum) menggambarkan getaran rasa yang menyentuh kalbu seorang mukmin ketika di ingatkan tentang Allah, perintah atau larangan-Nya. Ketika itu jiwanya di penuhi keindahan dan ke-Maha Besaran Allah, bangkit dalam dirinya rasa takut kepada-Nya, tergambar keagungan dan haibah-Nya serta tergambar juga pelanggaran dan dosanya. Semua itu mendorongnya untuk beramal dan taat. Wajilat qulubuhum –menurut Quthub—adalah apa yang di gambarkan oleh ummu ad-Darda, wanita muslimah yang sempat melihat dan beriman kepada nbi saw. Beliau berkata: “kegentaran hati serupa dengan terbakarnya jerami. Tidaklah anda mendengar suara getaran? Yang di Tanya menjawab: “Ya”.. “Nah, saat engkau mendapatkan itu dalam hatimu, maka brdoalah kepada Allah , doa akan menhhilangkannya (dan Allah akan menggantinya dengan ketenangan).” Demikian Ummu ad-darda.
Di atas di kemukakan bahwa  sekedar menyebut nama-Nya maka jiwa seorang mukmin sejati akan bergetar. Ini karena nama itu ketika di ingat atau di sebut langsung memunculkan dalam diri mereka kebesaran Allah swt.
Memang salah satu cara al-Qur’an mendidik mnausia adalah mengaitkan hal-hal kecil dan remeh sekalipun dalm dunia empiris dengan Allah swt. Perhatikan firman-Nya: “Tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah  atu yang kering, melainkan tetulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuuzh) (QS al-An’am: 59). Cara demikian pada akhirnya menjadikan mitra bicara al-Qur’an (manusia) tersentuh emosinya , serta terbuka mata kepala dan pikirannya, sehingga setiap objek tersebut di paparkan kepadanya atau terlihat dan terpikirkan olehnya, atau setiap nama Allah di sebut atau terpikir olehnya, maka jiwanya terangsang untuk mangingat kebesaran adan keagungan-Nya, sehingga mendorongnya untuk takut dan mengharap, dan terangsang pula ia melakukan aktivitas. Penemuan Pavlov tentang rangsangan-rangsangan, mirip ddengan ini.
Ayat di atas menegaskan penambahan iman bagi siapa yang mendengar ayat-ayat al_Qur’an. Thoohir Ibnu ‘Asyuur berpendapat bahwa penmabahan iman itu lahir karena ayat-ayat al-Qur’an mengandung mukjizat/bukti-bukti kebenaran sehingga setiap ayat yang turun atau berulang terdengar, maka ia menambah keyakinan pendengarnya tentang kebenaran informasinya da bahwa informasi-informasi itu pasti  bersumber dari Allah swt. Ini menambah argumen/dalil  yang tadinya telah ia miliki  sehinga akhirnya mencapai tingkat  yang sangt meyakinkan, semacam keyakinan  tentang kebenaran berita  yang di sampaikan oleh sejumlah orang  yang menurut kebiasan mustahil mereka semua sepakat berbohong.
Dalam buku mukjizat al-Qur’an penulis mengutip uraian kamil abdus Samad dalam bukunya al-I’jaz al-Ilmy fi al-Qur’an yang memaparkan laporan sejumlah peneliti setelah melakukan observasi  dengan alat-alat elektronika cabggih guna mengukur perubahan-perubahan fisiologi terhadap sejumlah sukarelawan  sehat yang sedang mendengar dengan tekun ayat-ayat al-Qur’an . ereka terdiri dari orang-orang muslim dan non-muslim, yang mengerti bahasa arab dan tidak mengerti. Hasil pengamatan membuktikan adanya pengaruh  yang menenangkan hingga mencapai 97%. Hasil pengamatan ini telah di laporka pada konferensi tahunan XVII asosiasi kedokteran Amerika Utara (IMANA) yang di selenggarakan di santa Lucia agustus 1984. Rujuklah ke buku penuis di atas, untuk mengetahui lebih rinci tentag hasil penelitian dan pengamatan itu.
Sebelum melanjutkan pada ayat berikut tentang sifat-sifat orang mukmin perlu di garisbawahi –sebagaimana telah di kemukakan di atas bahwa cirri-ciri tersebt adalah sifat-sifat orang mukmin yang mantap imannya dan kukuh lai sempurna keyakinanya bukan sifat orang yang beriman yakni yang memiliki iman tetapi belum mantap.
Semua pakar tafsir yang sempat penulis rujuk karyanya berpendapat demikian, kecualai Sayyid Qutub. Ulama dan syahid yang penuh semangat dn ghiiroh agama ini menulis ketika meafsirkan ayat ini lebih kurang sebagai berikut “sesungguhnya al-Qur’an sangat teliti dalam memilih dan menyusun lafaz-lafadznya agar dapat memberi petunjuk yang teliti tentang kandungan pesannya. Dalam redaksi ayat di atas ada lafadz (innamaa) yang menunjuk kepada makna pembatasan, yakni hanya yang memiliki sifat-sifat tersebut yang di namai mukmin. Tidak ada alasan untuk mengalihkan maknanya –setelah penegasan yang teliti itu—untuk berkata bahwa yang di maksud adalah “iman yang sempurna” karena kecuali redaksi  yang pasti lagi teliti maksudnya sesungguhnya mereka yang di sebut sifat-sifat, amal-amal dan peraaan-perasaannya ituadah orang-orang mukmin. Selain mereka yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut secara menyeluruh bukanlah orang-orang mukmin. Penegasan pada kahir aya yang menjelaskan sifat-sifat mereka (ayat keempat) bahwa “itulah mereka orang-orang mukmin yang haq” ikut menegaskan hakikat ini, sehingga yang bukan orang-orang mukmin yang haq , tidak dpat menjadi orang mukmin sejak semula. Redaksi-redaksi al-Qur’an  saling menafsirkan. Allah berfirman “ tidak ada lagi sesudah yang haq kecualai kesesatan” (QS Yunus: 32) maka selam bukan haq , ia adalah kesesatan. Antonom dari “orang-orang mukmin yang haq” bukanlah ‘‘orang-orang mukmin yang imannya tidak sempurna.” Tidak boleh redaksi al-Quran  yang demikian teliti menjadi bahan untuk takwil/pengalihan makna seperti itu.”
Selanjutnya sayyid Qutub menegaskan lebih jauh sebelum merinci satu persatu sifat-sifat yang di kemukKn  oleh ayat di atas dan ayat-ayat berikut bahwa: “ kita aka melihat bahwa iman tidak mungkin tegak tanpa  sifat-sifat itu dan persoalan bukanlah soal sempuna atau kurangnya imn, tetapi persoalan adalah wujud atau tidak wujudnya iman.
Pandangan sang syahid ini, lahir dari kehangatan iman yang bersemi di dada beliau dan terasa lagi terlihat denagn jelas pada tulisan-tulisan  bahkan di buktikan oleh keguguran  beliau mempertahankan nilai-nilai islam yang di yakininya. Kekaguman terhadap kepribadian dan semangat itu tidak  menghalangi kita untuk menyatakan  bahwa pendapatnya kali ini  agak berlebihan dan dalil yang beliau kemukakan  bukan pada tempatnya. Bahwa ayat ini mengandung pembatasan, sehingga hanya yang memiliki sifat-sifat tersebut yang di namai orang mukmin, itu juga benar, tetapi bukankan bahasa juga membedakan anatara kata mukmin dan beriman?
Ada perbedaan kandungan makna anatar penyanyi dan yang meyanyi atau pencuri dan yang mencuri. Yang pertama penyanyi dan pencuri mengesankan bahwa menyanyi atau mencuri adalah profesi yang bersangkutan atau telah berulang-ulang telah dia lakukan sehingga mendarah dagimh dan membudaya pada dirinya, sedang yang kedua menyanyi dan mencuri di gunakan menunjuk  seorang walau baru sekali  ia menyanyi atau mencuri. Pada dasarnya kata dengan patron ini  tidak mengandung makna kemantapan. Ayat di atas menggunakan kata mukmin bukan yang beriman. atas dasar itu ia seharusnya di pahami dalam arti seseorang yang mantap lagi kukuh dan sempurna imannya.
Selanjutnya kita dpat bertanya: “apakah mereka yang belum sampai pada tahap yang di sebut oleh ayat ini, yaitu yang gemetar hatinya ketika di sebut nama Allah, bertambah imannya ketika di bacakan ayat-ayat al-Qur’an, yang terus menerus berserah diri kepada Allah, --apakah mereka yang belum sampai pada tahap itu—adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki iman? Apakah mereka yang tidak berkesinambungan  shalatnya lagi tekun dan khusyu’ memenuhi segala syarat, dan rukunnya kita nilai sebagi tidak memiliki iman  sama sekali, atau bahkan dalam istilah Sayyid quthub berada dalam kesesatan? Sekali lagi agaknya ini berlebihan. Penulis tidak menolak uraian Sayyid Quthub yang rinci lagi sangat indah  tentang maknna dan sifat-sifat tersebut, tetapi itulah sifat=sifat mukmin yang mantap imannya, bukan sifat-sifat orang yang beriman? jika anda bertanya apa bedanya? Yang pertama adalah yang sempurna imannya dan yang kedua belum lagi sempurna. Kedua kelompok insya Allah akan selamat dan masuk  ke surge, walau tingkat perolehan mereka d sana jauh berbeda. Selanjutnya rujuklah  tafsir Fi Zhilaal al-Qur’an untuk membaca uraian yang sangat memukau tentang sifat-sifat mukmin sejati. Semoga kita dapat meraih, jika tidak menyeluruh, maka sebagian dari masing-masing sifat itu, dan semoga rahmat allah swt. Tercurah kepada sang syahid Sayyid Quthub yang jasanya terhadap islam dan umat tidak sedikit.

1 komentar:

  1. “Orang-orang mukmin hanyalah mereka yang apabila di sebut Alah gentar hati mereka, dan apabila di bacakan kepda mereka ayat-ayat-nya, ia menamah iman mereka dan kepada Tuhan mereka, mereka berserah diri”

    Ini bukan terjemah Ayat 2 Surat Al A'rof melainkan merupakan terjemah Ayat 2 Surat Al Anfal

    BalasHapus